Tanah Longsor, Bencana yang Paling Mematikan
JAKARTA, KOMPAS — Tanah longsor dan banjir menjadi bencana alam paling mematikan di Indonesia sepanjang dua tahun terakhir. Total korban tewas akibat longsor mencapai 372 orang. Terakhir, longsor terjadi di Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (5/5), menewaskan 4 orang dan 6 orang masih tertimbun.
Hingga Rabu, pencarian terhadap korban longsor di lereng Gunung Bedil, Pangalengan, itu berbuah penemuan empat warga yang tewas, yaitu Iran (55), Ma Oja (60), Pardi (70), dan Nayla (1,5). Enam warga lainnya, Wiwi, Dedeh, Nurul, Asep, Juju, dan Ayi, masih dicari.
Longsoran itu juga menimpa pipa saluran geotermal milik Star Energy Geothermal (Wayang Windu) Ltd. “Saat longsor terjadi, pipa seperti digunting dan langsung mengeluarkan material uap panas dalam jumlah besar sehingga terdengar seperti bunyi ledakan,” kata Presiden Direktur Star Energy Geothermal Rudy Suparman.
Terjadi 600 kali
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang dua tahun terakhir, menunjukkan bencana longsor terjadi 600 kali. Sebanyak 338 jiwa tewas akibat longsor sepanjang 2014 dan 46 orang tewas pada 2015. Korban terluka dalam dua tahun terakhir sebanyak 221 orang dan rumah yang rusak berat mencapai 2.337 unit.
Sementara banjir dalam dua tahun terakhir menewaskan 107 orang, 254 orang terluka, dan 1.557 rumah rusak berat. Puting beliung menewaskan 62 orang dan melukai 184 orang.
Bencana yang juga menyebabkan korban jiwa adalah letusan gunung api yang dalam dua tahun terakhir menewaskan 24 orang dan melukai 1.429 orang. Letusan gunung api merupakan bencana alam yang paling merusak karena mengakibatkan 12.404 rumah warga rusak berat.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, di Jakarta, Rabu, menyebutkan, longsor terus memakan korban jiwa disebabkan jumlah penduduk yang banyak tinggal di zona rentan longsor. Ada 40,9 juta jiwa warga di 274 kabupaten/kota yang tinggal di zona longsor.
Salah satu upaya mitigasi longsor yang dilakukan, kata Sutopo, adalah dengan memasang sistem peringatan dini longsor. Baru-baru ini, BNPB bersama Universitas Gadjah Mada serta Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi memasang 20 alat peringatan dini longsor di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Longsor Pangalengan
Ahli longsor dari UGM, Yogyakarta, Faisal Fathani, menilai eksplorasi panas bumi yang kini berkembang pesat harus disertai dengan mitigasi bencana, termasuk kepada masyarakat di sekitar hutan sekitar kawasan eksplorasi.
“Masalahnya, eksplorasi ini biasanya diikuti pembukaan hutan. Namun, investasinya hanya untuk membuat ladang sumur dan jalan akses, tetapi tidak ada alokasi dana untuk penanganan lereng. Ini menyebabkan area panas bumi biasanya rentan longsor,” katanya.
Selain di Pangalengan, pada 2013 juga terjadi longsor di lokasi eksplorasi panas bumi di Sungai Penuh, Jambi, yang menewaskan lima orang. Kondisi tanah di sekitar eksplorasi panas bumi biasanya juga mengalami alterasi atau pelapukan sehingga menambah tinggi risiko longsor.
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono, di Bandung, mengingatkan, Kampung Cibitung, Desa Margamukti, Pangalengan, yang dilanda bencana tanah longsor, Selasa lalu, harus direlokasi. Kampung yang kini dihuni 52 keluarga atau sekitar 200 jiwa itu terancam longsoran tanah karena terletak pada zona kerentanan gerakan tanah.
Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar, saat mengunjungi lokasi longsor, Rabu, juga meminta semua perusahaan yang beroperasi di kawasan rawan bencana harus menerapkan benar mitigasi bencana yang tepat. Tujuannya, meminimalkan munculnya korban jiwa jika bencana alam datang.
Deddy mengatakan, longsor kali ini memperlihatkan aturan tata guna lahan belum diterapkan dengan baik. Titik longsor berada dekat pipa panas bumi milik Star Energy Geothermal di Bukit Bedil yang terlihat gundul. Kondisi itu menyimpan bahaya longsor karena karakteristik tanah di perbukitan Jabar tergolong labil.
Surono menjelaskan, sebelum bencana terjadi, Sabtu lalu, pihaknya menurunkan tim pemeriksaan bencana gerakan tanah ke Kampung Cibitung. Hal itu menindaklanjuti permintaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bandung, April lalu, karena terjadi gerakan tanah di bukit itu berupa retakan dan longsoran sejak Maret 2015. Setiap musim hujan retakan itu berkembang.
Cibitung berada dalam zona kerentanan gerakan tanah tingkat menengah hingga tinggi. Lokasi tersebut sangat berbahaya untuk dihuni. (CHE/SEM/DMU/NIK/AIK)